Blog Archives

Langkah Sejuta Cahaya

sophi

SATU

Pagi hari yang cukup mengigil dipusat kota Istanbul. Jalanan yang begitu licin setelah hampir dua setengah jam diterpa hujan ringan. Matahari masih belum mengeluarkan sinarnya dari ufuk timur. Biasanya secercah cahaya mulai timbul dibalik minaret-minaret Blue Mosque dan Hagia Sophia. Cahaya itu langsung mengarah ke jendela kamar kami yang letaknya tidak jauh dari landmark bersejarah itu.

Aku dan kedua sahabatku dari Indonesia masih asyik manja dengan guling dan bantal serta selimut yang lumayan tebal. Cuaca yang sangat mendukung bagi kami. Biasanya di negara kami kalau sudah masuk musim penghujan, apalagi hujan itu turun tengah malam disaat manusia masih dalam keadaan tidur, udara Jakarta berevolusi layaknya udara Puncak Bogor. Sangat sejuk dan dingin. Aku pun malas untuk beraktivitas dan lebih memilih kembali kepembaringan.

Kota metropolitan seperti Jakarta amat begitu miris bila musim penghujan tiba. Bila terus menerus hujan turun dengan intensitas tinggi, air langsung menyerbu sebagian kampung yang drainasenya begitu minim. Singkatnya, apabila hujan turun terus menerus kota Batavia akan berubah menjadi pulau. Di mana-mana terjadi banjir. Tiap kampung terkenal karena sorotan media massa yang selalu on time meliput. Beruntung dikampungku termasuk dataran tinggi jadi tidak terkena imbasnya.

Kami bertiga tinggal di Hostel milik kawan kami berdarah pribumi. Aslan Ozcan. Semenjak mendapatkan beasiswa S2 ke Universitas Istanbul dengan penuh perjuangan dan air mata. Aku dan kedua sahabatku bertemu Ozcan tepat di gerbang Universitas yang dari dulu kami impikan ini. Bahkan sempat bingung mencari kelas yang akan kami tempati. Hingga akhirnya aku dan kedua sahabatku ini berpencar. Beruntung ketika itu kami bertemu pemuda Turki yang berpostur tubuh ideal, gagah dan memiliki brewok tipis. Terlebih lagi pemuda itu lumayan lancar bahasa Indonesia. Hati kami begitu senang dan bangga tatkala ada orang pribumi yang bisa bahasa asing. Bahasa Indonesia. Bahasa pribumi kami. Itulah Ozcan.

Kami senang bisa berkenalan dan mempunyai teman dari negara lain. Jadi teringat nasihat guruku ketika di pesantren dahulu. Beliau memberikan wejangan syair Imam Syafi’I sebelum aku lulus dan menempuh ke jenjang lebih tinggi lagi.

Orang pandai dan beradab tidak akan tinggal diam dikampung halaman. Tinggalkan negerimu dan merantaulah kenegeri orang. Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan. Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang.

Wejangan itulah yang aku rasakan ketika bertemu Ozcan. Sangat beruntung kami bertemu dia. Karena keterbatasan bahasa Turki yang kami kuasai, kami pun masih enggan untuk berinteraksi dengan masyarakat Istanbul. Disisi lain juga beruntung karena di samping kuliah, kami dapat meneruskan kursus bahasa Turki yang sudah disediakan dari pemerintah Indonesia. Jadi sedikit-sedikit timbul rasa optimism tinggi dapat menguasai bahasa tersebut.

“Farhan… Syafaat… Lukman…. Bangun. Sudah siang, sarapan dibawah sudah siap.” Sahut Ozcan dengan logat asingnya membangunkan kami yang masih asyik terbuai udara Eropa.

Kami tidak lantas bergegas bangun. Mata kami hanya melirik sedikit, mengulet, lalu tidur lagi. Aku berdesah pelan menyapa Ozcan. “Ekhhmmm… Iya Can’.”

Sepintas aku sempat meliriknya kembali. Pandangannya masih mengarah ke kami yang sedang asyik tidur. Kulihat ia menggelang-gelangkan kepala. Sangat ambiguitas. Menggeleng karena lucu melihat kami tertidur sambil mulut menganga, kemudian mengeluarkan air yang membentuk pulau kecil atau menggeleng karena merasa terganggu karena keberadaan kami. Yang jelas aku yakin ia tidak merasa keberatan. Karena aku lihat Ozcan hanya tersenyum lebar. mungkin merasa lucu melihat kami tidur dengan mulut menganga.

Dengan cara yang halus, ia terus membangunkan kami. Kali ini bukan dengan suara atau bukan dengan kontak fisik. Aku kagum dengan caranya membangunkan kami kesekian kalinya. Cara yang halus namun cerdik. Ia sengaja menyingkap gorden, lalu membuka jendela kamar kami. Udara menggigil langsung menusuk tulang rusuk kami. Ozcan hanya tertawa cekikikan. Kami langsung bangun. Buru-buru mengambil mantel panjang kami.

“Haddduh, Hadduh… ente gimane sih Can! Dasar Sinchan! Bagus aye kage masuk angin.” Ujar temanku Lukman, sengaja dengan logat betawi aslinya. Ku pandang Ozcan. Sedikit memahami ucapan Lukman walaupun entah ia paham atau tidak kalimat tersebut. Aku dan Syafaat hanya cekikikan pelan mendengar ocehannya.

؏

Cayhane[1]. Sejenis teh Turki sudah ada dihadapan kami. Serta Simit[2], yaitu roti berbentuk mirip donat yang permukaannya ditaburi wijen hitam (Black Sesame). Simit biasanya dijadikan menu sarapan, tetapi bisa pula dijadikan sekadar kudapan teman minum teh atau kopi. Suasana hangat dan kebersamaan langsung terasa. Ditambah pemandangan kota Istanbul dipagi hari yang begitu dingin tapi sangat indah dan menawan.

Sambil menyeruput teh Turki, aku memandang fokus pada satu arah. Hagia Sophia. Sebuah museum yang begitu bersejarah dalam catatan peradaban Islam. Setiap memandang empat minaret digedung itu, aku terbawa seakan ke zaman sultan Muhammad Alfatih yang begitu mati-matian merebut Konstantinopel dari tangan Romawi. Aku ingin melihat meriam Orban yang begitu berjasa dalam menaklukan Konstantinopel. Meriam Orban bukanlah sembarang nama meriam tersebut. Orbanlah sang pembuat meriam itu. Ketika saya membaca buku Felix Y. Siauw yang berjudul Muhammad Alfatih 1453. Konon sang pembuat meriam itu Syahid tatkala meriam yang dibuatnya meledak karena terlalu panas terus-menerus menggempur pasukan musuh. Sungguh sangat miris tatkala Orban terkena senjata makan tuan. Lebih mirisnya lagi meriam yang meledak itu diciptakan olehnya sendiri.

Aku pun yakin sang pencipta meriam tersebut sudah bersama para Syuhada yang lain. Syuhada yang rela menyerahkan jiwa raganya demi agama Islam. Agama rahmatan Lil Alamiin. Ketika aku mengedarkan pandang ke Hagia Sophia dan Blue Mosque. Dua gedung yang menjadi ikon Istanbul. Pikiranku langsung terhentak tatkala mengingat Hadis Nabi SAW.

لتفتحن القسطنطنية فلنعم الامير اميرها ولنعم الجيش ذالك الجيش

“Sungguh Konstantinopel[3] akan ditaklukan oleh kalian. Maka sebaik-baik pemimpin adalah pemimpinnya dan sebaik-baik pasukan adalah pasukan yang menaklukannya.” (HR. Ahmad).

Aku kagum dengan antusias serta keteguhan Muhammad Alfatih dalam memperluas dakwah Islam. Seperti yang dilakukan Rasulullah Saw. Seorang panglima perang yang tidak ada duanya. Kini sang penakluk Konstantinopel itu telah tiada dan tinggal menyisakan sebuah nama penghormatan yang akan terus dikenal dunia. Saya berandai-andai jikalau sang sultan berhasil menguasai kota Roma. Mungkin Vatikan yang selalu kita lihat live pada tanggal 25 Desember akan berubah jadi Masjid yang akan selalu live pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha.

“Hoy diem aja, mikirin rumah…?” Lukman menyadarkan hayalanku. Aku hanya bisa jawab “Ha..Ho..Ho..Ha…”

“Begini Han. Kami mau ke Besikdas. Mumpung lagi liburan musim dingin. Mau ikut tak?” Ujar Syafaat menjelaskan.

“Sekalian kita berkunjung ke Ankara. Disana kan banyak orang Indonesia yang nyantri di Abi Miz.” Lanjutnya.

Abi Miz adalah pengasuh asrama Turki yang mempunyai cabang di Indonesia bahkan di Seluruh dunia. Aku dan Syafaat pernah tinggal di asrama Turki, Pejaten Jakarta Selatan. Sejak kuliah S1 di UIN Jakarta, sempat aku dan Syafaat tinggal di asrama tersebut. Dengan harapan bisa mudah melanjutkan pendidikan ke Turki. Namun harapan aku dan Syafaat sempat terhenti. Kami keluar dari asrama dengan alasan sibuk kuliah dan tidak bisa membagi waktu.

Asrama yang aku tempati memang sangat mewah, di daerah komplek dan bangunannya tak tampak seperti pesantren pada umumnya. Pertama kali aku menginjakan kaki di gerbang pesantren yang bernama “UICCI Umraniye” itu, mataku tak pernah bergeser memandang arsitekturnya. “Ini Istana …” Kataku. Bayangkan, tempat tidur beralaskan ranjang dan kasur empuk layaknya hotel, serta dilengkapi fasilitas AC dan makanan gratis tanpa dipungut biaya sekalipun. Setiap sabtu kolam renang disediakan bagi santri untuk refreshing sejenak, demi memanjakan para penuntut ilmu. Memang setiap hari kami diharuskan untuk menyetor hafalan Qur’an dengan metode hafalan mushaf utsmani. Aku rasa sesuatu yang wajar bila fasilitas asrama ini sangat baik.

Meskipun guru-guruku berdarah Turki dan bermazhab Hanafi, namun kami tetap memakai mazhab Syafi’i. Aku bisa memahami arti dari sebuah perbedaan. Mereka pun tidak pernah mempermasalahkan dan mendebati akan hal itu.

Ada pengalaman paling berharga yang pernah aku dapati di asrama tersebut dan belum pernah aku dapati semenjak di pondok pesantren. Apa itu? Mungkin kalian baru mengerti setelah aku ceritakan, begini ….

Beberapa waktu lalu aku mendapati makanan jatuh tepat di beranda asrama, aku lihat seorang Abi yang berdarah Turki mengambil makanan tersebut, pikiran kala itu mungkin ia akan membuangnya ke tong sampah atau jauh dari halaman asrama. Nyatanya makanan tersebut hanya dipindahkan ke tempat paling tinggi. Aku sempat terheran-heran, makanan yang sudah kotor tersebut masih saja dipindahkan, bukan di buang.

“Ozuldilerim[4] Abi … mau tanya kenapa makanannya dipindahkan Abi…. Kenapa tidak di buang saja?” Tanyaku.

“Abi baru dapat satu makanan saja, nanti pasti di buang kalau sudah waktunya pembersihan.” Jawab Abi begitu ramah.

“Terus kenapa di pindahkan ke tempat lebih tinggi, toh itu kan makanan kotor?” Tanyaku kembali penuh rasa kritis.

“Sekotor-kotornya makanan, awalnya kan bersih. Yang kamu tahu makanan yang sudah jatuh itu kotor dilihat dari aspek kesehatannya bukan? Seperti ada bakteri yang menempel dan kotoran-kotoran lainnya.”

“Meskipun sudah kotor dan tidak boleh di makan lagi, tidak seharusnya kita mengabaikan begitu saja. Kalau ingin buang, silahkan buang ke tempat sampah. Jika tidak sempat, silahkan pindahkan ke tempat yang lebih tinggi. InsyAllah akan ada keberkahannya.”

Ucapan Abi membuat aku terdiam dan berfikir berkali-kali, aku sudah belajar akhlak dan fiqh namun hal tersebut tidak pernah aku terapkan dikehidupan sehari-hari.

Di waktu yang lain pula aku sedang menghafal dengan berselonjoran kaki mengarah ke kiblat, sekilas aku berfikir itu wajar-wajar saja toh selama ini tidak ada yang melarang. Namun pada hari itu ada seseorang santri yang sudah cukup lama tinggal di asrama tersebut menegur, “Maaf bang, tolong kakinya jangan selonjoran mengarah kiblat! Dan al-Qur’annya jangan diletakkan rendah di bawah dada, harusnya pas sejajar dengan dada!”

Hatiku sempat tersinggung ketika itu, “ini asrama banyak sekali aturannya.” Keluh di hati.

Bahkan membawa kitab saja tidak boleh di “tenteng” layaknya membawa tas gagang. Seharusnya ditaruh di dada atau di atas kepala. (Mungkin kalian dapat memahami penjelasan tersebut). Pantas guru-guruku yang masih berumuran muda sangat cepat sekali menghafal al-Qur’an.  Intinya aku bisa dapati kedisiplinan dari orang-orang Turki, bahwa belajar tanpa diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, sama saja seperti minum kopi tapi memakai teh. Entah bagaimana rasanya.

“Terus ke Besikdas mau ngapain At?” Aku langsung membalas usulan Syafaat.

“Masa gak tau. Katanye pendukung fanatik MU.” Timpal Lukman ketusnya. Aku sempat kesal dengan gaya bibirnya yang maju mundur kaya ikan mujaer.

“Saya punya tiket nonton babak 8 besar Manchester United VS Besiktas Han. Makanya saya ngajak kalian mumpung lagi libur.” Ozcan tak kalah hebatnya mengeluarkan empat tiket untuk ditunjukan kepada kami. Aku sempat iri dan kagum. Aku iri karena ada yang lebih fanatik mendukung klub kebanggaan Inggris itu ketimbang aku sendiri. Disisi lain bangga pada Ozcan karena begitu royal kepada kami.

Aku pun begitu semangat dan tidak akan melewati momen terindah ini. Momen dimana aku bisa melihat pemain kebanggaan publik Old Trafford. Wayne Rooney, Van Persie serta Juan Mata yang baru saja bergabung dari klub rival terberat, Chelsea.

“Ayolah!” Ucapan yang begitu singkat dan jelas dari bibir manisku. Mataku berkaca-kaca. Tidak sabar pertama kalinya dalam sejarah hidup menonton sepak bola di benua eropa. Jangankan di eropa, di Senayan pun aku tidak pernah idep nonton Timnas vs Malaysia saat piala AFC berlangsung. Kali ini aku akan mengabadikan momen di stadion milik klub besiktas tersebut. Akan aku post ke Abdul Rasyid, kawanku dan kedua sahabatku di UIN Jakarta. Ia juga penggemar MU. Teringat masa-masa lalu ketika kami selalu tanding Play Station di laptop miliknya. Ia selalu mengandalkan Wayne Rooney yang begitu cepatnya dan tendangan yang begitu keras menghujam setiap penjaga gawang. “Gooool!” seraya menoyor kepala ku. Sungguh fanatik tapi sadis. Sayangnya kami jarang bertemu. Kini ia melanjutkan studinya di Kairo, Mesir.

Aku juga ingin memamerkan foto kami bertiga ke sahabat lama kami sewaktu di UIN. Mereka Makhfiyyah, Umay dan Kholis. Mataku langsung menatap Syafaat dan Lukman.

“Broo… Umay, Imut, Oliss!…”

Aku langsung bergegas ke kamar. Mengambil laptop. Membuka Email kepada mereka. Syafaat dan Lukman hanya terbengong heran. “Aneh lu Han, mau ngapain coba…” Aku tidak peduli ocehan Lukman. Setelah windows 7 terpampang dilayar, barulah aku ketik Mbah Google dan menulis Yahoo.

Selamat datang Ahmad. Koneksi yang begitu cepat yahoo menyapaku. Lukman langsung paham dengan gerak gerik ku. Mengirim email ke mereka yang sedang menempuh S2-nya di Paris, Perancis. Aku pun langsung didesaki kedua kepala sahabatku yang juga ingin melihat kelayar berukuran 11 inci ini.

To: Muthiayahya@yahoo.com

Imut, Umay and Brew Olis. Gimana kabar kalian di sana? Cuaca disini cukup dingin. Namun begitu hangat saat teh khas Turki langsung bersemayam di perut kami.

O ya… gimana pengalaman kalian disana? Bersyukur banget yah, khayalan kita semenjak di Tarjamah akhirnya terwujud juga. Khayalan yang mungkin tamanni[5] bagi kita semua.

Ane, Nana sama Lukman lusa akan jalan-jalan ke benua Asia. Percaya atau tidak kami bolak balik dari benua asia ke eropa hanya hitungan menit. Hehehe….

Sudah kemuseum Luvra? Sama ke menara Eiffel? Kalau belum cepat kunjungi kesana dan mengabadikannya. Lalu kirim kesini. Wakili kami yang berada di Istanbul. Jadikan Film 99 Cahaya di Langit Eropa yang kita tonton dulu berubah menjadi kenyataan. Ane ingin lihat Olis melantunkan azan di atas tower Eiffel, sama seperti disaat Abimana yang berperan menjadi Rangga melantunkan azan maghrib.

Email sudah ku kirim. Mata kami saling pandang memandang. Senyum cerah terpancar dari wajah kami bertiga. Ku arah kan jari telunjuk ke pusat cahaya. Pandanganku, Syafaat dan Lukman mengarah pada cahaya itu. Silau, tapi menakjubkan. Ozcan mungkin tidak paham dengan maksud kami. Perlahan cahaya matahari itu semakin terang. Menerangi minaret Blue Mosque, Hagia Sophia serta seluruh kota Istanbul.

Kami masih duduk di pelataran Nobel Hostel. Tempat penginapan kami sekaligus penginapan milik keluarga Ozcan. Jaraknya tidak jauh dari Blue Mosque dan Hagia Sophia. “Kawan… coba lihat cahaya itu. Kirim salam pada keluarga kita yang berada di Indonesia. Kirim salam pada sahabat kita yang berada di Paris. Bukankah cahaya itu sama? Sama-sama bergantian menyinari dunia. Hanya saja terhalang oleh malam.” Dengan seriusnya aku memandang cahaya itu, telunjukku perlahan keatas mengiringi peredaran matahari. Perlahan pula rasa dingin itu berkurang.

“Buktikan pada mereka. Pada dunia. Kalau kita akan memegang peranan penting dalam memajukan tanah air. Buat orang tua kita bangga. Satu lagi. Sampai kapanpun, bahkan sampai cahaya itu sudah tidak muncul lagi, persahabatan kita tidak akan berakhir.” Lanjutku meningkatkan volume suara. Rasa semangat ku pun timbul. Sampai-sampai Ozcan menepuk tangan sembari mengarahkan dua jempolnya kepada kami.

Aku dan Syafaat sempat terheran-heran ketika melihat satu sahabat kami tiba-tiba mengeluarkan air mata. Lukman. Sempat akupun bertanya padanya. Ente kenapa tiba-tiba nangis Ya Sohabi[6]? Namun ia hanya menggeleng-gelengkan kepala. Aku, Syafaat dan Ozcan sempat khawatir, tidak biasanya teman kami menjadi galau begini.

“Lukman, cerita sama ane kenapa ente sedih?” Kembali aku beranikan diri bertanya padanya.

“Iya Man, kalau ada apa-apa cerita aja. Kaya sama siapa aja.” Timpal Syafaat sambil mengusap-usap pundaknya.

Sejenak ia menyeka air matanya. Ozcan memberikan tissue kepadanya. Perlahan ia tarik nafas dalam-dalam, mencoba menetralisir keadaan. Kami pun siap mendengarkan apa yang akan dikeluhkan oleh sahabat kami.

“Ane menangis bukan karena ada permasalahan yang pelik. Tapi karena mengingat perjuangan kita bertiga demi sebuah cita-cita.” Dengan suara yang terengah-engah kami terus mendengarkan isi hati Lukman.

“Farhan, Nana, masih ingat sebelum impian kita sekarang benar-benar terwujud? Kita membentuk misi. Misi yang harus kita wujudkan bersama. Tiap hari kita berpanas-panasan mencari satu titik harapan agar kita bisa mendapat beasiswa kesini. Kita obrak-abrik semua informasi beasiswa. Kita kunjungi Depag, Sekneg, Gedung Kementrian sampai Kedutaan Besar. Hingga pada akhirnya pengorbanan serta jerih payah kita tidak sia-sia.”

“Ane sempat pesimis. Bingung. Apakah misi kita ini hanya angan-angan belaka?. Jikalau misi kita terwujud, bagaimana kelanjutan pendidikan kita kedepan. Apakah nanti akan jadi sampah masyarakat? Ataukah akan dikenang seperti Muhammad Alfatih?”

Aku tertunduk pelan, isi hati Lukman begitu menyentuh. Memang pengorbanan kami selama ini begitu berharga dan sayang untuk dilupakan.

“Ini yang ane khawatirkan. Jangan sampai salah satu dari kita mendapat ocehan masyarakat. Nauzubillah jika ada perkataan, “Jauh-jauh sekolah, pulang hanya menjadi pengangguran”. Terima kasih Han. Kata-kata ente menyadarkan ane. Mari sama-sama kita hidupkan cahaya itu bahkan sampai cahaya tersebut terbit dari barat!” Dengan semangat 45-nya, Lukman memberikan suntikan semangat positive kepada kami.

Akupun seperti terlahir kembali. Kini aku terlahir dari jiwa optimisku sendiri. Bukan lagi dari Rahim Ibuku sejak 23 tahun lalu. Kini cita-citaku akan kugapai. Demi membahagiakan kedua orang tua ku. Pikiranku pun kembali kemasa silam. Kemasa disaat aku  menuntut ilmu di Pesantren al-Hidayah, Basmol.

Nantikan cerita selanjutnya ….

Mohon kritik dan sarannya,

Salam: Ahmad Farhan (Alumni al-Hidayah 2010)

[1] Teh

[2] Roti Renyah

[3] Sekarang Istanbul

[4] Maaf

[5] Berharap tapi mungkin sulit terwujud

[6] Wahai Kawanku